SELAMAT DATANG

SEMOGA APA YANG TERDAPAT DALAM BLOG INI DAPAT BERGUNA DAN BERMANFAAT BAGI SEMUA PIHAK YANG MEMBUTUHKANNYA SERTA DIGUNAKAN SEBAGAIMANA MESTINYA.

Minggu, 30 September 2012


MAFQUD MENURUT HUKUM PERDATA DAN HUKUM ISLAM
Secara bahasa, mafqud berarti hilang atau lenyap (bentukan dari kata faqoda – yafqidu – fiqdanan – fuqdanan - fuqudan). Secara istilah, mafqud berarti orang yang hilang dan telah terputus informasi tentang diriya sehingga tidak diketahui lagi tentang keadaan yang bersangkutan, apakah dia masih hidup atau sudah wafat (Muhammad Ali as-Shabuny, 1968:196). Secara sederhana, mafqud berarti orang yang hilang dalam jangka waktu lama dan tidak diketahui lagi keberadaannya apakah ia masih hidup atau sudah`wafat.
Penetapan mafqud bagi orang yang hilang sangat penting karena menyangkut berbagai macam hal, diantaranya dalam hukum keperdataan dan hukum kewarisan. Jika dia merupakan pewaris, maka ahli warisnya memerlukan kejelasan status tentang keberadaannya (apakah yang bersangkutan masih hidup atau sudah wafat) agar jelas hukum kewarisan dan harta warisannya, dan jika sebagai ahli waris, mafqud berhak mendapatkan bagian sesuai statusnya, apakah ia sebagai dzawil furud atau sebagai dzawil asobah.

Mafqud Dalam Hukum Perdata
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Staatsblad 1847 Nomor 23, Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie (BW)) di pasal 467 - 471 telah mencantumkan ketentuan mengenai mafqud/orang hilang. KUHPer tidak menggunakan istilah mafqud, akan tetapi menggunakan istilah “Orang yang diperkirakan telah meninggal dunia”.
Pasal 467 KUHPer menentukan bahwa seseorang yang telah pergi meninggalkan tempat kediamannya dalam jangka waktu 5 tahun, atau telah lewat waktu 5 tahun sejak terakhir didapat berita kejelasan tentang keadaan orang tersebut, tanpa memberi kuasa untuk mewakili urusan-urusan dan kepentingan-kepentingannya, dapat dimohonkan oleh pihak yang memiliki kepentingan keperdataan dengan orang tersebut ke Pengadilan untuk dipanggil menghadap ke persidangan untuk memastikan keberadaan dan nasibnya. Jangka waktu panggilan ini adalah dalam waktu 3 bulan.
Jika orang tersebut tidak dapat menghadap untuk memberikan kesan dan petunjuk bahwa dia masih hidup, walaupun telah dipanggil, maka harus dipanggil untuk yang kedua kalinya, begitu seterusnya sampai panggilan ketiga (jangka waktu panggilan adalah 3 bulan). Panggilan tersebut diumumkan di surat-surat kabar, papan pengumuman di Pengadilan, dan papan pengumuman di alamat terakhir orang tersebut diketahui.
Apabila sudah dipanggil tiga kali tetap tidak datang menghadap, maka Pengadilan bisa menetapkan secara hukum bahwa orang itu telah meninggal, terhitung sejak hari ia meninggalkan tempat tinggalnya, atau sejak hari berita terakhir mengenai hidupnya. Tanggal pasti tentang penetapan “meninggalnya secara hukum yang bersangkutan” harus dinyatakan secara jelas dalam putusan. (Pasal 468)
Dalam Putusan tersebut juga harus dimuat pertimbangan Hakim mengenai kemungkinan sebab-sebab yang bersangkutan tidak bisa memenuhi panggilan persidangan, sebab-sebab yang mungkin telah menghalangi yang bersangkutan tidak bisa membaca pengumuman panggilan tersebut, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan dugaan tentang kematian. Namun hakim dapat menunda pengambilan putusan sampai jangka waktu lima tahun lebih atau memerintahkan panggilan lanjutan jika ada pertimbangan lain dianggap perlu dan penting untuk diindahkan oleh Hakim, hal ini sangat tergantung kebijaksanaan Hakim dalam melihat fakta terhadap kenyataan dalam persidangan.
Masalah berbeda berlaku apabila orang yang pergi meninggalkan tempat kediamannya tersebut telah memberikan kuasa kepada orang lain untuk menjadi kuasa/wakilnya dalam segala urusan dan kepentingan, maka jangka waktu yang berlaku adalah sepuluh tahun sesudah keberangkatannya atau setelah berita terakhir bahwa ia masih hidup, dan dalam jangka waktu sepuluh tahun tersebut tidak ada tanda-tanda apakah ia masih hidup atau telah wafat. Adapun teknis beracaranya sama dengan mereka yang yang pergi tanpa meninggalkan kuasa apapun.
Putusan yang telah diambil oleh Pengadilan mengenai mafqud tersebut harus diumumkan dalam media surat kabar yang sama yang juga digunakan dalam pemanggilan.
Mafqud dalam Hukum Islam
Hakim dalam memutus perkara mafqud harus berdasarkan pada alat bukti yang jelas sehingga dapat diduga keras bahwa mafqud tersebut telah wafat. Hakim dapat memutuskan mafqud ` telah wafat dalam keadaan:
1.      Hilang dalam situasi yang patut dianggap bahwa ia sebagai telah binasa, seperti karena ada serangan mendadak atau dalam keadaan perang. (Dapat diputus mafqud jangka waktunya 40 tahun sejak kepergian)
2.      Pergi untuk suatu keperluan, tetapi tidak pernah kembali. (Dapat diputus mafqud jangka waktunya 40 tahun sejak kepergian)
3.      Hilang dalam suatu kegiatan wisata atau urusan bisnis. (Hakim memutuskan mafqud dengan pertimbangan sendiri). (Muhammad Toha Abul 'Ula Kholifah (2005:543))
Abdul Aziz Dahlan (1996:1038) juga menyebutkan salah satu aspek yang dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam memutus perkara mafqud adalah dengan memperhatikan teman-teman seumur/segenerasi dengan yang bersangkutan. Apabila teman-teman seumur/segenarasi mafqud itu telah wafat, maka hakim dapat menetapkan bahwa mafqud dimaksud juga telah wafat. Apabila harta mafqud telah dibagikan kepada ahli warisnya, kemudian ternyata yang bersangkutan masih hidup dan kembali, maka harta yang sudah dibagikan itu harus dikembalikan oleh ahli warisnya itu kepada mafqud dimaksud. Akan tetapi kalau harta warisan itu telah habis, maka ahli waris tidak dapat dituntut untuk mengembalikan harta warisan tersebut.
Tentang masalah jangka waktu seseorang dapat ditetapkan mafqud, para ulama madzhab berbeda pendapat:
1.      Ulama Madzhab Hanafi: 90 tahun, dengan asumsi bahwa dalam jangka waktu tersebut orang-orang yang seusia dengan dia di daerahnya telah semua wafat.
2.      Ulama Madzhab Maliki: 70 tahun, dasarnya hadits Rasul yang menyatakan bahwa usia umatku berkisar antara 60 sampai dengan 70 tahun.
3.      Ulama Madzhab Syafi’i: 90 tahun, yaitu batas usia orang-orang yang sebaya dengan dia di daerahnya. Tetapi, pendapat yang sahih di kalangan ini adalah penentuannya bukan berdasarkan pada bilangan waktu tertentu, melainkan berdasarkan pada bukti, yakni jika telah ada bukti bagi hakim tentang kematian mafqud bersangkutan, maka berdasarkan bukti itu hakim menetapkan kematian mafqud bersangkutan dan itu setelah berlangsung suatu periode di mana secara kebiasaan bahwa seseorang sudah tidak mungkin lagi hidup di atas usia tersebut.
4.      Ulama Madzhab Hanbali: Jika mafqud itu hilang dalam suasana yang sedemikian rupa sehingga dapat diduga dia telah wafat, seperti dalam perang, atau tenggelamnya alat transporatsi yang dinaiki, di mana sebagian penumpang selamat dan sebagian lagi tidak selamat, maka di sini ditunggu sampai tenggat waktu empat tahun. Tetapi jika ia hilang dalam suasana yang tidak mungkin ia`wafat (berdagang, berwisata, atau menuntut ilmu), maka::
a.       ditunggu sampai yang bersangkutan berusia 90 tahun karena biasanya di atas usia ini sudah tipis kemungkinannya bagi seseorang untuk dapat bertahan hidup;
b.      diserahkan pada petimbangan hakim. (Muhammad Ali as-Shabuny, 1968:198)
Terjadi juga perbedaan pendapat tentang tanggal dimulai/terjadinya wafat seseorang berdasarkan putusan mafqud:
1.      Abu Hanifah dan Malik: Waktu wafatnya mafqud dianggap sejak tanggal hilangnya mafqud bersangkutan.
2.      Syafi’i dan Ahmad: Waktu wafatnya mafqud dianggap sejak tanggal pernyataan kewafatannya (tanggal keluarnya putusan hakim),
Mafqud dan Kewarisan
Muhammad Toha Abul ’Ula Kholifah (2005:542) mengatakan bahwa berkaitan dengan kewarisan, mafqud itu mempunyai dua sisi, yaitu pertama, dari sisi harta pribadinya, dan kedua dari sisi harta orang lain. Dari sisi harta pribadinya ia dianggap hidup dan oleh karena itu harta pribadinya belum bisa diwarisi oleh ahli warisnya sampai ada kejelasan status mafqud bersangkutan, apakah ia masih hidup atau sudah wafat. Sedangkan dari sisi harta orang lain, dia dianggap telah wafat sehingga dengan demikian dia tidak lagi sebagai ahli waris.
Pendapat senada dikemukakan juga oleh Wahbah az-Zuhaily (1989:420-421) yang mengatakan bahwa dari sisi harta pribadi mafqud, para Imam Madzhab telah sepakat bahwa ia dianggap masih hidup sehingga hartanya belum bisa dibagi kepada ahli warisnya, sampai ada kejelasan berdasarkan putusan hakim mafqud tersebut dinyatakan telah wafat. Sedangkan dari sisi harta orang lain, Mayoritas Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mafqud tidak mempunyai hak-hak positif seperti halnya waris dan wasiat, sedangkan ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanbaliyah, Dzohiriyah dan Syi’ah Imamiyah menyatakan bahwa mafqud itu berhak mendapat waris dari orang lain tetapi tidak mewariskan.
Teknis pembagian waris mafqud (jika dia adalah ahli waris) dapat dilakukan dengan dua cara:
1.      Mafqud dianggap masih hidup: Bagiannya ditunda sementara sampai ada kejelasan statusnya;
2.      Mafqud dianggap sudah wafat: Bukan sebagai ahli waris. (Wahbah az-Zuhaily (1989:423))
Dengan dua cara tesebut, maka perlu diperhatikan keberadaan ahli waris lainnya, yaitu:
1.      Terhadap ahli waris yang bagiannya tetap sama dalam dua keadaan diatas, yakni baik mafqud bersangkutan masih hidup ataupun sudah wafat, maka kepadanya diberikan bagian secara penuh.
2.      Terhadap ahli waris yang bagiannya berubah dalam salah satu dari dua keadaan dimaksud, maka kepadanya diberikan bagian yang lebih kecil, sedangkan sisanya sementara ditunda sampai ada kejelasan status mafqud. Jika mafqud bersangkutan ternyata benar-benar masih hidup, maka ia mengambil bagian yang sementara ditunda itu. Sebaliknya, jika ternyata mafqud tersebut benar-benar telah wafat, maka bagian yang sementara ditunda itu diberikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya.
3.      Terhadap ahli waris yang belum jelas status kewarisannya, artinya ia berhak mewaris dalam satu cara, tetapi tidak berhak mewaris dalam cara yang lain, maka di sini wajib ditunda bagiannya sampai jelas status mafqud.
Penutup
Pengaturan mengenai mafqud tidak hanya diatur dalam hukum Islam, akan tetapi hukum keperdataan Indonesia juga telah mengatur hal tersebut dalam Kitab-kitab Undang-undang Hukum Perdata, dengan beberapa perincian dan ketentuan yang saling melengkapi satu sama lain.
Penentuan mafqudnya seseorang sangat penting dan urgen karena berkaitan dengan hubungan keperdataan (secara hukum perdata) dan hubungan keagamaan seseorang dengan nasab, ahli waris, dan segala yang ditinggalkannya (secara hukum Islam).
Secara singkat, ada beberapa asas dasar yang harus dipenuhi dalam permohonan mafqud seseorang, yaitu (Pertimbangan Majelis dalam Putusan Mafqud No: 06/Pdt.P/2006/PA.Wt):
1.      Bahwa orang yang dinyatakan mafqud telah dipanggil secara sah dan patut melalui pngumuman mass media surat kabar harian sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggat waktu pengumuman masing-masing tiga bulan; (467 KUHPer)
2.      Bahwa yang bersangkutan telah pergi meninggalkan tempat tinggalnya yang terakhir sekurang-kurangnya 10 tahun tidak pernah pulang dan tidak ada khabar beritanya, serta tidak ada indikasi atau tanda-tanda bahwa yang bersangkutan itu masih hidup; (470 KUHPer)
3.      Bahwa usia yang bersangkutan diperkirakan telah melebihi usia hidup seseorang secara rata-rata di suatu daerah (untuk Daerah Istimewa Yogyakarta rata-rata 70 tahun) atau orang-orang yang sebayanya telah meninggal dunia; (Madzhab Imam Syafi’i)
4.      Bahwa kepergian yang bersangkutan dilatar belakangi atau bersamaan dengan suatu peristiwa yang sangat memungkinkan meninggalnya yang bersangkutan dan patut diduga yang bersangkutan tidak dapat menyelamatkan diri; (Madzhab Hanbali)
5.      Bahwa yang bersangkutan meninggalkan hak kebendaan atau keperdataan dengan orang mengajukan permohonan perkara ini (Petunjuk Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: MA/KUMDIL/221/VII/K/1991 tanggal 23 Juli 1991);

Tidak ada komentar:

Posting Komentar