MAFQUD
MENURUT HUKUM PERDATA DAN HUKUM ISLAM
Secara bahasa,
mafqud berarti hilang atau lenyap (bentukan dari kata faqoda –
yafqidu – fiqdanan – fuqdanan - fuqudan). Secara istilah, mafqud berarti
orang yang hilang dan telah terputus informasi tentang diriya sehingga tidak
diketahui lagi tentang keadaan yang bersangkutan, apakah dia masih hidup atau
sudah wafat (Muhammad Ali as-Shabuny, 1968:196). Secara sederhana, mafqud
berarti orang yang hilang dalam jangka waktu lama dan tidak diketahui lagi
keberadaannya apakah ia masih hidup atau sudah`wafat.
Penetapan mafqud bagi orang yang hilang sangat
penting karena menyangkut berbagai macam hal, diantaranya dalam hukum
keperdataan dan hukum kewarisan. Jika dia merupakan pewaris, maka ahli warisnya
memerlukan kejelasan status tentang keberadaannya (apakah yang bersangkutan
masih hidup atau sudah wafat) agar jelas hukum kewarisan dan harta warisannya,
dan jika sebagai ahli waris, mafqud berhak mendapatkan bagian sesuai statusnya,
apakah ia sebagai dzawil furud atau sebagai dzawil asobah.
Mafqud Dalam Hukum Perdata
Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (Staatsblad
1847 Nomor
23, Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie (BW)) di pasal 467 - 471 telah
mencantumkan ketentuan mengenai mafqud/orang hilang. KUHPer tidak menggunakan
istilah mafqud, akan tetapi menggunakan istilah “Orang yang diperkirakan telah
meninggal dunia”.
Pasal 467 KUHPer
menentukan bahwa seseorang yang telah pergi meninggalkan tempat kediamannya
dalam jangka waktu 5 tahun, atau telah lewat waktu 5 tahun sejak terakhir
didapat berita kejelasan tentang keadaan orang tersebut, tanpa memberi kuasa
untuk mewakili urusan-urusan dan kepentingan-kepentingannya, dapat dimohonkan oleh
pihak yang memiliki kepentingan keperdataan dengan orang tersebut ke Pengadilan
untuk dipanggil menghadap ke persidangan untuk memastikan keberadaan dan
nasibnya. Jangka waktu panggilan ini adalah dalam waktu 3 bulan.
Jika orang tersebut tidak
dapat menghadap untuk memberikan kesan dan petunjuk bahwa dia masih hidup,
walaupun telah dipanggil, maka harus dipanggil untuk yang kedua kalinya, begitu
seterusnya sampai panggilan ketiga (jangka waktu panggilan adalah 3 bulan).
Panggilan tersebut diumumkan di surat-surat kabar, papan pengumuman di
Pengadilan, dan papan pengumuman di alamat terakhir orang tersebut diketahui.
Apabila sudah dipanggil
tiga kali tetap tidak datang menghadap, maka Pengadilan bisa menetapkan secara
hukum bahwa orang itu telah meninggal, terhitung sejak hari ia meninggalkan
tempat tinggalnya, atau sejak hari berita terakhir mengenai hidupnya. Tanggal
pasti tentang penetapan “meninggalnya secara hukum yang bersangkutan” harus
dinyatakan secara jelas dalam putusan. (Pasal 468)
Dalam Putusan tersebut
juga harus dimuat pertimbangan Hakim mengenai kemungkinan sebab-sebab yang
bersangkutan tidak bisa memenuhi panggilan persidangan, sebab-sebab yang
mungkin telah menghalangi yang bersangkutan tidak bisa membaca pengumuman
panggilan tersebut, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan dugaan tentang
kematian. Namun hakim dapat menunda pengambilan putusan sampai jangka waktu lima
tahun lebih atau memerintahkan panggilan lanjutan jika ada pertimbangan lain dianggap
perlu dan penting untuk diindahkan oleh Hakim, hal ini sangat tergantung
kebijaksanaan Hakim dalam melihat fakta terhadap kenyataan dalam persidangan.
Masalah berbeda berlaku
apabila orang yang pergi meninggalkan tempat kediamannya tersebut telah memberikan
kuasa kepada orang lain untuk menjadi kuasa/wakilnya dalam segala urusan dan
kepentingan, maka jangka waktu yang berlaku adalah sepuluh tahun sesudah keberangkatannya
atau setelah berita terakhir bahwa ia masih hidup, dan dalam jangka waktu sepuluh
tahun tersebut tidak ada tanda-tanda apakah ia masih hidup atau telah wafat. Adapun
teknis beracaranya sama dengan mereka yang yang pergi tanpa meninggalkan kuasa
apapun.
Putusan yang telah diambil
oleh Pengadilan mengenai mafqud tersebut harus diumumkan dalam media surat
kabar yang sama yang juga digunakan dalam pemanggilan.
Mafqud
dalam Hukum Islam
Hakim dalam memutus perkara mafqud harus
berdasarkan pada alat bukti yang jelas sehingga dapat diduga keras bahwa mafqud
tersebut telah wafat. Hakim dapat memutuskan mafqud ` telah wafat dalam
keadaan:
1.
Hilang dalam situasi yang patut dianggap bahwa
ia sebagai telah binasa, seperti karena ada serangan mendadak atau dalam
keadaan perang. (Dapat diputus mafqud jangka waktunya 40 tahun sejak kepergian)
2.
Pergi untuk suatu keperluan, tetapi tidak
pernah kembali. (Dapat diputus mafqud jangka waktunya 40 tahun sejak kepergian)
3.
Hilang dalam suatu kegiatan wisata atau urusan
bisnis. (Hakim memutuskan mafqud dengan pertimbangan sendiri). (Muhammad Toha
Abul 'Ula Kholifah (2005:543))
Abdul Aziz Dahlan (1996:1038) juga menyebutkan
salah satu aspek yang dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam memutus
perkara mafqud adalah dengan memperhatikan teman-teman seumur/segenerasi dengan
yang bersangkutan. Apabila teman-teman seumur/segenarasi mafqud itu telah
wafat, maka hakim dapat menetapkan bahwa mafqud dimaksud juga telah wafat.
Apabila harta mafqud telah dibagikan kepada ahli warisnya, kemudian ternyata
yang bersangkutan masih hidup dan kembali, maka harta yang sudah dibagikan itu
harus dikembalikan oleh ahli warisnya itu kepada mafqud dimaksud. Akan tetapi
kalau harta warisan itu telah habis, maka ahli waris tidak dapat dituntut untuk
mengembalikan harta warisan tersebut.
Tentang masalah jangka waktu seseorang dapat
ditetapkan mafqud, para ulama madzhab berbeda pendapat:
1.
Ulama Madzhab Hanafi: 90 tahun, dengan asumsi
bahwa dalam jangka waktu tersebut orang-orang yang seusia dengan dia di
daerahnya telah semua wafat.
2.
Ulama Madzhab Maliki: 70 tahun, dasarnya hadits
Rasul yang menyatakan bahwa usia umatku berkisar antara 60 sampai dengan 70
tahun.
3.
Ulama Madzhab Syafi’i: 90 tahun, yaitu batas
usia orang-orang yang sebaya dengan dia di daerahnya. Tetapi, pendapat yang
sahih di kalangan ini adalah penentuannya bukan berdasarkan pada bilangan waktu
tertentu, melainkan berdasarkan pada bukti, yakni jika telah ada bukti bagi
hakim tentang kematian mafqud bersangkutan, maka berdasarkan bukti itu hakim
menetapkan kematian mafqud bersangkutan dan itu setelah berlangsung suatu
periode di mana secara kebiasaan bahwa seseorang sudah tidak mungkin lagi hidup
di atas usia tersebut.
4.
Ulama Madzhab Hanbali: Jika mafqud itu hilang
dalam suasana yang sedemikian rupa sehingga dapat diduga dia telah wafat,
seperti dalam perang, atau tenggelamnya alat transporatsi yang dinaiki, di mana
sebagian penumpang selamat dan sebagian lagi tidak selamat, maka di sini
ditunggu sampai tenggat waktu empat tahun. Tetapi jika ia hilang dalam suasana
yang tidak mungkin ia`wafat (berdagang, berwisata, atau menuntut ilmu), maka::
a.
ditunggu sampai yang bersangkutan berusia 90
tahun karena biasanya di atas usia ini sudah tipis kemungkinannya bagi
seseorang untuk dapat bertahan hidup;
b.
diserahkan pada petimbangan hakim. (Muhammad
Ali as-Shabuny, 1968:198)
Terjadi juga perbedaan pendapat tentang tanggal
dimulai/terjadinya wafat seseorang berdasarkan putusan mafqud:
1.
Abu Hanifah dan Malik: Waktu wafatnya mafqud
dianggap sejak tanggal hilangnya mafqud bersangkutan.
2.
Syafi’i dan Ahmad: Waktu wafatnya mafqud
dianggap sejak tanggal pernyataan kewafatannya (tanggal keluarnya putusan
hakim),
Mafqud
dan Kewarisan
Muhammad Toha Abul ’Ula Kholifah (2005:542)
mengatakan bahwa berkaitan dengan kewarisan, mafqud itu mempunyai dua sisi,
yaitu pertama, dari sisi harta pribadinya, dan kedua dari sisi harta orang
lain. Dari sisi harta pribadinya ia dianggap hidup dan oleh karena itu harta
pribadinya belum bisa diwarisi oleh ahli warisnya sampai ada kejelasan status
mafqud bersangkutan, apakah ia masih hidup atau sudah wafat. Sedangkan dari
sisi harta orang lain, dia dianggap telah wafat sehingga dengan demikian dia
tidak lagi sebagai ahli waris.
Pendapat senada dikemukakan juga oleh Wahbah
az-Zuhaily (1989:420-421) yang mengatakan bahwa dari sisi harta pribadi mafqud,
para Imam Madzhab telah sepakat bahwa ia dianggap masih hidup sehingga hartanya
belum bisa dibagi kepada ahli warisnya, sampai ada kejelasan berdasarkan
putusan hakim mafqud tersebut dinyatakan telah wafat. Sedangkan dari sisi harta
orang lain, Mayoritas Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mafqud tidak mempunyai
hak-hak positif seperti halnya waris dan wasiat, sedangkan ulama Malikiyah,
Syafi’iyah, Hanbaliyah, Dzohiriyah dan Syi’ah Imamiyah menyatakan bahwa mafqud
itu berhak mendapat waris dari orang lain tetapi tidak mewariskan.
Teknis pembagian waris mafqud (jika dia adalah
ahli waris) dapat dilakukan dengan dua cara:
1.
Mafqud dianggap masih hidup: Bagiannya ditunda sementara
sampai ada kejelasan statusnya;
2.
Mafqud dianggap sudah wafat: Bukan sebagai ahli
waris. (Wahbah az-Zuhaily (1989:423))
Dengan dua cara tesebut, maka perlu
diperhatikan keberadaan ahli waris lainnya, yaitu:
1.
Terhadap ahli waris yang bagiannya tetap sama
dalam dua keadaan diatas, yakni baik mafqud bersangkutan masih hidup ataupun
sudah wafat, maka kepadanya diberikan bagian secara penuh.
2.
Terhadap ahli waris yang bagiannya berubah
dalam salah satu dari dua keadaan dimaksud, maka kepadanya diberikan bagian
yang lebih kecil, sedangkan sisanya sementara ditunda sampai ada kejelasan
status mafqud. Jika mafqud bersangkutan ternyata benar-benar masih hidup, maka
ia mengambil bagian yang sementara ditunda itu. Sebaliknya, jika ternyata
mafqud tersebut benar-benar telah wafat, maka bagian yang sementara ditunda itu
diberikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya.
3.
Terhadap ahli waris yang belum jelas status
kewarisannya, artinya ia berhak mewaris dalam satu cara, tetapi tidak berhak
mewaris dalam cara yang lain, maka di sini wajib ditunda bagiannya sampai jelas
status mafqud.
Penutup
Pengaturan mengenai mafqud tidak hanya diatur
dalam hukum Islam, akan tetapi hukum keperdataan Indonesia juga telah mengatur
hal tersebut dalam Kitab-kitab Undang-undang Hukum Perdata, dengan beberapa
perincian dan ketentuan yang saling melengkapi satu sama lain.
Penentuan mafqudnya seseorang sangat penting
dan urgen karena berkaitan dengan hubungan keperdataan (secara hukum perdata)
dan hubungan keagamaan seseorang dengan nasab, ahli waris, dan segala yang
ditinggalkannya (secara hukum Islam).
Secara singkat, ada beberapa asas dasar yang
harus dipenuhi dalam permohonan mafqud seseorang, yaitu (Pertimbangan Majelis
dalam Putusan Mafqud No: 06/Pdt.P/2006/PA.Wt):
1.
Bahwa orang yang dinyatakan
mafqud telah dipanggil secara sah dan patut melalui pngumuman mass media surat
kabar harian sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggat waktu pengumuman
masing-masing tiga bulan; (467 KUHPer)
2.
Bahwa yang bersangkutan
telah pergi meninggalkan tempat tinggalnya yang terakhir sekurang-kurangnya 10
tahun tidak pernah pulang dan tidak ada khabar beritanya, serta tidak ada
indikasi atau tanda-tanda bahwa yang bersangkutan itu masih hidup; (470 KUHPer)
3.
Bahwa usia yang
bersangkutan diperkirakan telah melebihi usia hidup seseorang secara rata-rata
di suatu daerah (untuk Daerah Istimewa Yogyakarta rata-rata 70 tahun) atau
orang-orang yang sebayanya telah meninggal dunia; (Madzhab Imam Syafi’i)
4.
Bahwa kepergian yang
bersangkutan dilatar belakangi atau bersamaan dengan suatu peristiwa yang
sangat memungkinkan meninggalnya yang bersangkutan dan patut diduga yang
bersangkutan tidak dapat menyelamatkan diri; (Madzhab Hanbali)
5.
Bahwa yang bersangkutan
meninggalkan hak kebendaan atau keperdataan dengan orang mengajukan permohonan
perkara ini (Petunjuk Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:
MA/KUMDIL/221/VII/K/1991 tanggal 23 Juli 1991);
Tidak ada komentar:
Posting Komentar