KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah Swt. karena limpahan rahmat dan karuniaNya serta kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menyusun makalah berkenaan dengan Hak Ulayat dalam kuliah Hukum Pertanahan dapat penulis selesaikan dengan tepat waktu.
Benar kata pepatah bahwa tiada gading yang tak retak, semakin banyak yang kita tahu, maka semakin banyak pula yang belum kita tahu, maka penulis menyadari bahwa makalah inipun masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis tetap berharap kepada segenap pembaca yang budiman, masukan baik berupa kritikan atau saran-saran yang sifatnya membangun guna kesempurnaan makalah berikutnya.
Shalawat dan salam tidak lupa penulis kirimkan kepada baginda Rasulullah Saw. Rasul yang tidak hanya menjadi panutan, pemimpin juga kepala negara pada saat itu. Dan tidak lupa pula penulis ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
Wassalam
Samata Gowa, 18 Oktober 2011
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................. i
DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
A. Latar Belakang .............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 3
A. Pengertian Hak Ulayat............................................................................................ 3
B. Dasar Hukum Hak Ulayat....................................................................................... 5
C. Kedudukan Hak Ulayat.......................................................................................... 7
BAB III KESIMPULAN .............................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Dalam kehidupan ini, tanah mempunyai hubungan yang erat sekali dengan manusia. “Setiap orang tentu memerlukan tanah bukan hanay dalam kehidupannya, untuk matipun manusia masih memerlukan tanah. Jumlah luas tanah yang dapat dikuasai manusia sangat terbatas sekali sedangkan jumlah manusia yang berhajat dengan tanah semakin lama semakin bertambah”. Kondisi yang tidak seimbang antara persediaan tanah dengan kebutuhanakan tanah itu telah menimbulkan berbagai persoalan dan kasus-kasus persengketaan tanah yang memerkukan penyelesaian yang baik, benar dan memberikan perlindungan serta kepastian hukum juga keadilan.
Untuk memberikan perlindungan terhadap warga negara yang benar-benar mempunyai hak atas tanah tersebut, maka Negara mengaturnya di dalam UUPA dimana dalam Pasal 26 ayat (1) UUPA mengatakan bahwa “Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Namun kenyataan yang terjadi, banyak tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat (hak ulayat) diambil oleh pemerintah dengan cara-cara kekerasan.
B. Rumusan Masalah.
Dari latar belakang yang ditentukan maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria memberikan pengakuan terhadap tanah hak ulayat ?
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat yang tanah hak ulayatnya diambil untuk kepentingan pembangunan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hak Ulayat.
Pengertian hak ulayat dapat kita lihat pada Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria yang menetapkan bahwa “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” masih tetap dapat dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang jak ulayat itu “menurut kenyataan masih ada”.
Hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, didefinisikan sebagai “kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan”.
Hak Ulayat, sebutan yang dikenal dalam kepustakaan Hukum Adat dan dikalangan masyarakat hukum adat di berbagai daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda, merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya. Hak ulayat mengandung dua unsur. Unsur pertama adalah unsur hukum perdata, yaitu sebagai hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat, yang dipercayai berasal mula-mula sebagai peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan karunia suatu kekuatan gaib, sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup seluruh warga masyarakat hukum adat itu. Unsur kedua adalah unsur hukum publik, yaitu sebagai kewenangan untuk mengelola dan mengatur peruntukan, penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat tersebut, baik dalam hubungan intern dengan para warganya sendiri maupun ekstern dengan orang-orang bukan warga atau “orang luar”.
Subyek hak ulayat ini adalah masyarakat hukum adat, yang perupakan persekutuan hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal (teritorial), maupun yang didasarkan pada keturunan (genecalogis), yang dikenal dengan berbagai nama yang khas di daerah yang bersangkutan, misalnya suku, marga, dati, dusun, nagari dan sebagainya. Apabila ada orang yang seakan-akan merupakan subyek hak ulayat maka orang tersebut adalah ketua atau tetua adat yang memperoleh pelimpahan wewenang dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adatnya. Ia bukanlah subyek hak ualayat, melainkan petugas masyarakat hukum adatnya dalam melaksanakan kewenangan yang bersangkutan dengan hak ulayat.
Mengenai kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat tanda-tanda yang perlu diteliti untuk menentukan masih adanya hak ulayat meliputi 3 unsur, yaitu:[1]
a. Unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat dengan tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
b. Unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang manjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan.
c. Unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat menganai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
B. Dasar Hukum Hak Ulayat.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. UUD 1945 tidak menyebut tanah melainkan bumi. Mengenai arti bumi ini tidak terdapat penjelasan lebih lanjut. Menurut Pasal 1 ayat (3) UUPA, bahwa “Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa adalah hubungan yang bersifat abadi”.
Mengenai bumi diatur dalam UUPA, sebagaimana Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indoneisa, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alan yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Hal ini berarti bahwa di Indonesia, pengertian tanah diapakai dalam arti yuridis sebagai suatu pengertian yang telah dibatasi dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, dasar hak menguasai dari negara hanya permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
Setelah Indonesia merdeka dan berlangsung hingga diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dengan mengingat pentingnya tanah dalam kahidupan, jauh sebelum diundangkan UUPA telah dikenal sistem penguasaan suber daya alam di berbagai daerah di Indonesia yang dikeal sebagai hal ulayat. Walaupun tidak dijelaskan secara jelas mengenai pengertian hak ulayat tetapi dari berbagai pendapat para ahli, hak ulayat adalah merupakan pengakuan/kepunyaan bersama seluruh anggota masyarakat dan di dalamnya juga terkandung adanya hak kepunyaan perorangan yang berarti orang perorangan boleh mempunyai (memiliki) tanah dalam lingkungan hak ulayat tersebut.[2]
Apabila ditelaah pendapat-pendapat yang diberikan para ahli di atas, terdapat kesamaan pendapat mengenai hukum adat, yaitu di dalam hukum adat termuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur kehidupan orang-orang Indonesia dalam bentuk tak tertulis dan mempunyai akibat hukum.
Di dalam masyarakat hukum adat, tanah mempunyai arti penting, karena menurut sifatnya tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan kadang-kadang menjadi lebih menguntungkan. Karena faktanya, tenah merupakan tempat tinggal persekutuan, memberikan kehidupan kepada persekutuan, merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan dan merupakan pula temapat tinggal kepada dayang-dayang perlindungan persekutuan dan roh para leluhur persekutuan.[3]
Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa hak ulayat tidak secara gamblang dijelaskan tentang adanya dasar hukum atau aturan-aturan yang mengatur, melainkan hak ulayat diakui oleh Undang-Undang dan penerapannya mengacu pada Undang-Undang Pokok Agraria serta hukum adat yang berlaku.
C. Kedudukan Hak Ulayat.
Pada dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA adalah sudah diakui, akan tetapi pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat-syarat tertentu, yaitu: “eksistensi” dan mengenai pelaksananya. Oleh karena itu, hak ulayat dapat diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada. Maksudnya adalah apabila di daerah-daerah dimana hak itu tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkan kembali.
Pelaksanaan tentang hak ulayat dalam UUPA diatur di dalam pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut : “Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sesuai dengan apa yang diterangkan dalam penjelasan umum (Angka H/3) disini ditegaskan pula bahwa kepentingan sesuatu masyarakat harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih tinggi dan lebih luas".
Oleh sebab itu, pelaksanaan hak ulayat secara mutlak, yaitu seakan-akan anggota-anggota masyarakat iu sendirilah yang berhak atas tanah wilayahnya itu, dan seakan hanya di peruntukan masyarakat hukum adat itu sendiri. Maka sikap yang demikianlah yang oleh UUPA dianggap bertentangan, hal ini sesuai dengan asas-asas yang tercantum dalam pasal 1 dan 2.
Dalam UUPA dan hukum tanah nasional, bahwasanya hak ulayat tidak di hapus, tetapi juga tidak akan mengaturnya, dalam artian adalah mengatur hak ulayat dapat berakibat melanggengkan atau melestarikan eksistensinya. Karena pada dasarnya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan (uraian 85 dan 106 E).
BAB III
KESIMPULAN
A. Menurut UUPA mengakui adanya hak ulayat sebagaimana Pasal 3 UUPA. Pengakuan terhadap tanah merupakan suatu hal yang memang dilindungi sesuai dengan yang dimaksud oleh Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun pengakuan hak ulayat tersebut dibatasi yaitu hak ulayat yang masih selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban sebagaimana Pasal 28 I UUD 1945 dan tidak didaftar.
B. Bentuk perlindungan hukumnya bila diperlukan untuk kepentingan umum sebagaimana Padal 18 UUPA, maka masyarakat pemegang hak ulayat diberi penggantian berupa pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi rakyat setempat sesuai dengan Pasal 14 Perpres No. 36 Tahun 2005 yang telah dirubah oleh Perpres No. 65 Tahun 2006, yang penggunaannya untuk kepentingan seluruh pemegang hak ulayat atas tanah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pertanahan Nasional Kanwil Provinsi Kalteng, Seminar Langkah-Langkah Adminstrasi Perlindungan Tanah Adat, Palangkaraya, 2007.
Peraturan Menteri Negara /Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999.
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.
Soerjono Wingjodipuro, Asas-Asas Hukum Adat, Sumur Bandung, Jakarta, 1983.
Surat Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional, yang Ditujukan kepada Bupati/Walikotamdya Kepala Daerah Tk. II, Jakarta, 24 Juni 1999.
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
[1] Surat Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional, yang Ditujukan Kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tk. II, Jakarta, 24 Juni 1999.
[2] Badan Peratanahan Nasional Kanwil Provinsi Kalteng, Seminar Langkah-Langkah Admnistrasi Perlindungan Tanah Adat, Palangkaraya, 2007, h. 4.
[3] Soerjono Wigjodipuro, Asas-Asas Hukum Adat, Sumur Bandung, Jakarta, 1983, h. 197.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pertanahan Nasional Kanwil Provinsi Kalteng, Seminar Langkah-Langkah Adminstrasi Perlindungan Tanah Adat, Palangkaraya, 2007.
Peraturan Menteri Negara /Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999.
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.
Soerjono Wingjodipuro, Asas-Asas Hukum Adat, Sumur Bandung, Jakarta, 1983.
Surat Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional, yang Ditujukan kepada Bupati/Walikotamdya Kepala Daerah Tk. II, Jakarta, 24 Juni 1999.
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar