Di Susun Oleh:
AMIR SYAM MARSUKI
101 001 08 007
Peradilan Agama
Fak. Syariah & Hukum
UIN Alauddin Samata-Gowa
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah Swt. karena limpahan rahmat dan karuniaNya serta kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menyusun makalah berkenaan dengan Hukum Pertanahan menurut Syariat Islam dalam kuliah Hukum Pertanahan dapat penulis selesaikan dengan tepat waktu.
Shalawat dan salam tidak lupa penulis kirimkan kepada baginda Rasulullah Saw. Rasul yang tidak hanya menjadi panutan, pemimpin juga kepala negara pada saat itu. Dan tidak lupa pula penulis ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi keesempurnaan makalah barikutnya.
Wassalam
Samata Gowa, 8 Desember 2011
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................. i
DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
A. Latar Belakang .............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 3
A. Filosofi Kepemilikan Tanah.......................................................................................... 3
B. Pemanfaatan Tanah (at-Tasharruf fi al-Ardh)............................................................... 7
C. Pendistribusian Tanah menurut Hukum Islam.............................................................. 8
BAB III KESIMPULAN .............................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum pertanahan dalam Islam dapat didefinisikan sebagai hukum-hukum Islam mengenai tanah dalam kaitannya dengan hak kepemilikan (milkiyah), pengelolaan (tasharruf), dan pendistribusian (tauzi’) tanah.[1]
Dalam studi hukum Islam, hukum pertanahan dikenal dengan istilah Ahkam al-Araadhi. Pada umumnya para fuqaha (ahli hukum Islam) membahas hukum pertanahan ini dalam studi mereka mengenai pengelolaan harta benda (Al-Amwal) oleh negara. Para fuqaha itu misalnya Imam Abu Yusuf (w. 193 H) dengan kitabnya al-Kharaj, Imam Yahya bin Adam (w. 203 H) dengan kitabnya al-Kharaj dan Imam Abu Bait (w. 224 H) dengan kitabnya al-Amwal. Sebagian ulama seperti Imam al-Mawardi (w. 450 H) membhas pertanahan dalam kitabnya al-Ahkam al-Sulthaniyah yang membahas hukum tata negara menurut Islam. Demikian pula Imam Abu Ya’la (w. 457 H) dalam kitabnya al-Ahkam al-Sulthaniyah.[2]
Pada masa modern kini pun tak sedikit ulama membahas hukum pertanahan dalam perspektif Islam. Misalnya Abdul Qadim Zalum (w. 2003 H) dalam kitabnya al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, Athif Abu Zaid Sulaiman Ali dalam kitabnya Ihya’ al-Aradhi al-Mawad fi al-Islam (1416 H), dan Amin Syauman dalam kitabnya Bahtsun fi Aqsam al-Aradhiin fi Asysyari’ah al Islamiyah wa Ahkamuhaa.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas penulis dapat menyimpulkan pokok masalah yaitu “bagaiman hukum pertanahan menurut syariat Islam”, selanjutnya untuk membahas secara rinci dan terarah, maka penulis membagi pokok masalah sebagai berikut:
1. Bagaiman kepemilikan tanah menurut hukum Islam?
2. Bagaimana pemanfaatan tanah menurut hukum Islam?
3. Bagaimana pendistribusian tanah menurut hukum Islam?
[1] Jamaluddin Mahasari, Pertanahan dalam Hukum Islam, hal. 39.
[2] Al-Nabhani, Annizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hal. 128.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Filosofi Kepemilikan Tanah
Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi termasuk tanah hakikatnya adalah milik Allah Swt. semata. Firman Allah Swt:
¬!ur à7ù=ãB ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( n<Î)ur «!$# çÅÁyJø9$# ÇÍËÈ
Terjemahnya:
Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk). (Q.S an-Nur ayat 42)
Ayat tersebut menegaskan bahwa pemilik hakiki dari segala sesuatu (termasuk tanah) adalah Allah Swt. semata.[1]
Kemudian Allah Swt. sebagai pemilik hakiki, memberikan kuasa (Istikhlaf) kepada manusia untuk mengelola milik Allah Swt. ini sesuai dengan hukum-hukum-Nya.
(#qãZÏB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur (#qà)ÏÿRr&ur $£JÏB /ä3n=yèy_ tûüÏÿn=øÜtGó¡B ÏmÏù ( tûïÏ%©!$$sù (#qãZtB#uä óOä3ZÏB (#qà)xÿRr&ur öNçlm; Öô_r& ×Î7x. ÇÐÈ
Terjemahnya:
Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah Telah menjadikan kamu menguasainya[1456]. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar. (Q.S al-Hadid ayat 7).
Menafsirkan ayat ini Imam al-Qurthubi berkata, “ayat ini adalah dalil bahwa asal-usul kepemilikan (ashlul milki) adalah milik Allah Swt., dan bahwa manusia tak mempunyai hak kecuali memanfaatkan (tasharruf) dengan cara yang diridhai Allah Swt”.[2]
Dengan demikian Islam telah menjelaskan dengan gamblang filosofi kepemilikan tanah dalam Islam. Intiya ada dua poin yaitu:
1. Pemilik hakiki dari tanah adalah Allah Swt.
2. Allah Swt. sebagai pemilik hakiki telah memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelola tanah menurut hukum-hukum Allah Swt.
Maka dari itu filosofi ini mengandung implikasi bahwa tidak ada satu hukumpun yang boleh digunakan untuk mengatur persoalan tanah, kecuali hukum-hukum Allah Swt. saja atau syariah Islam.[3]
Mengatur pertanahan dengan hukum selain hukum Allah Swt. Telah diharamkan oleh Allah Swt. sebagai pemilik hakiki hal ini berkenaan dengan firman Allah:
È@è% ª!$# ãNn=÷ær& $yJÎ/ (#qèVÎ6s9 ( ¼çms9 Ü=øxî ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( ÷ÅÇö/r& ¾ÏmÎ/ ôìÏJór&ur 4 $tB Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrß `ÏB <cÍ<ur wur ÛÎô³ç Îû ÿ¾ÏmÏJõ3ãm #Yymr& ÇËÏÈ
Terjemahnya:
Katakanlah: "Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); kepunyaan-Nya-lah semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tak ada seorang pelindungpun bagi mereka selain dari pada-Nya; dan dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan". (Q.S al-Kahfi ayat 26).
Kepemilikan (milkiyah, ownership) dalam syariah Islam didefinisikan sebagai hak yang ditetapkan oleh Allah Swt. bagi manusia untuk memanfaatkan suatu benda. Kepemilikan tidak lahir dari realitas fisik suatu benda melainkan ketentuan hukum Allah Swt. pada benda itu.
Syariat Islam telah mengatur kepemilikan tanah secara rinci, dengan mempertimbangkan dua aspek yang terkait dengan tanah, yaitu:
1. Zat tanah (Raqabah al-Ardh).
2. Manfaat tanah (Manfa’ah al-Ardh), yakni penggunaan tanah untuk pertanian dan sebagaimnya.
Dalam syariah ada dua macam tanah, yaitu:
1. Tanah usyriah (al-Ardhu al-Usyriyah) adalah tanah yang penduduknya masuk Islam secara damai tanpa peperangan, contoh Madinah Munawarrah dan Indonesia.
2. Tanah kharajiyah adalah tanah yang dikuasai kaum muslimin melalui peperangan (al-Harb) misalnya tanah Irak, Syam dan Mesir kecuali Jazirah Arab.
Menurut Abdurrahman al-Maliki tanah dapat dimiliki dengan enam cara menurut hukum Islam yaitu:[4]
1. Melalui jual beli.
2. Melalui waris.
3. Melalui hibah.
4. Melalui Ihya al-Mwat (menghidupkan tanah).
5. Melalui tahjir (membuat batas pada tanah mati).
6. Iqtha’ (pemberian negara pada rakyat).
Syari’at Islam menetapkan bahwa hak kepemilikan tanah pertanian akn hiang jika tanak itu ditelantarkan tiga tahun berturut-turut. Negara akan menarik tanah itu dan memberikan kepada orang lain yang mampu mengolahnya.
Umar bin Khaththab pernah berkata, “orang yang membuat batas pada tanah (mukhtajir) tak berhak lagi atas tanah itu setelah tiga tahun ditelantarkan”. Umar pun melaksanakan ketentuan ini dengan menarik tanah pertanian milik Bilal bin al-Harits al-Muzni yang ditelantarkan tiga tahun. Para sahabat menyetujuinya sehingga menjadi ijma’ sahabat (kesepakatan para sahabat Nabi Saw) dalam masalah ini.[5]
Pencabutan hak milik ini tidak terbatas pada tanah mati (mawad) yang dimiliki dengan cara tahjir (pembuatan batas) saja, namun juga meliputi tanah paertanian yang dimiliki dengan cara-cara yang lain atas dasar qiyasi. Misalnya yang dimiliki melalui jual beli, waris, hibah dll. Sebab yang menjadi alasan hukum (illat, ratiolegis) dari pencabutan hak milik bukanlah cara-cara memilikinya, melainkan penelantaran selama tiga tahun (ta’thil al-ardh).[6]
B. Pemanfaatan Tanah (at-Tasharruf fi al-Ardh)
Syariat Islam mengharuskan pemilik tanah pertanian untuk mengolahnya sehingga tanahnya produktif. Negara dapat membantunya dalam penyediaan sarana produksi pertanian, seperti kebijakan Khalifah Umar bin Khatthab memberikan bantuan sarana pertanian kepada petani Irak untuk mengolah tanah pertanian mereka. Jika pemilik tanah itu tidak mampu mengolahnya, dianjurkan untuk diberikan kepada orang lain tanpa kompensasi. Nabi Saw. bersabda, “barang siapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya atau memberikan kepada saudaranya”. (H.R. Bukhari).
Jika pemilik tanah pertanian mengelantarkan tanahnya selama tiga tahun maka hak kepemilikannya akan hilang, sebagimana telah diterangkan sebelumnya.
C. Pendistribusian Tanah menurut Hukum Islam
Lahan pertanian tidak boleh disewakan, baik tanah kharajiyah maupun tanah usyriyah, baik sewa itu dibayar dalam bentuk hasil pertaniannya maupun dalam bentuk lainnya (uang).
Rasulullah Saw. bersabdah, “barang siapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya atau memberikan kepada saudaranya, jika ia enggan memberikan maka tahanlah tanahnya itu”. (H.R Bukhari). Dalam hadis shahih riwayat muslim, Rasulullah Saw. telah melarang mengambil upah sewa (ajrun) atau bagi hasil (hazhun) dari tanah. Hadis-hadis ini dengan jelas melarang penyewaan lahan pertanian.
Sebagian ulama membolehkan penyewaan lahan pertanian dengan sistem bagi hasil, yang disebut muzara’ah. Dengan dalil bahwa Rasulullah Saw. telah bermuamalah dengan pendduk Khaibar dengan sistem bagi hasil, yakni setengah hasil untuk Rasulullah Saw. dan setengah untuk penduduk Khaibar. Larangan ini khusus menyewakan lahan pertanian untuk ditanami. Adapau menyewakan tanah bukan untuk ditanami misal untuk dibuatkan kandang peternakan kolam ikan dan sebagainya hukumny boleh-boleh saja sebab tidak ada larangan syariah dalam masalah ini.
Tanah yang didalamnya ada tambang misalkan minyak, emas dan sebagainya ada dua kemungkinan:
1. Tanah itu tetap menjadi milik pribadi atau negara jika hasil tambangnya sedikit.
2. Tanah itu menjadi milik umum jika hasil tambangnya banyak.
Nabi Saw. Pernah memberikan tanah bergunung dan bertambang kepada Bilal bin al-Kharits al-Muzni. (H.R. Abu Daud). Ini menunjukan tanah yang bertambanf boleh dimiliki individu jika tambangnya memiliki kapasitas produksi sedikit.
Hima adalah tanah atau wilayah yang ditetapkan secara khusus oleh negara untuk kepentingan tertentu, tidak boleh dimanfaatkan oleh individu. Misalnya menetapkan hima pada suatu tambang tertantu, katakanlah tambang emas dan perak di Papua khusus untuk keperluan membeli alut sista (alat utama sistem persenjataan).
Rasulullah Saw. dan para khalifah sesudahnya pernah menetapkan hima pada tempat-tempat tertentu. Rasulullah Saw. pernah menetapkan naqi’(nama padang rumput di kota Madinah) khusus utnuk menggembalakan kuda-kuda kaum muslimin, tidak untuk yang lainnya. Abu Bakar pernah menetapkan rabdzah (nama padang rumput) khusus untuk menggemabalakan unta-unta zakat bukan untuk keperluan lainnya.[7]
[1] Yasin Ghadiy, al-Amwal wa al-Amlak al-‘Ammah fi Islam, hal. 19.
[3] Abduh dan Yahya, al-Milkiyah fi al-Islam, hal. 138.
[4] Al-Maliki, as-Siyasah al-Iqtashadiyah al-Mustlah, hal. 51.
[5] Al-Nabhani, an-Nizham al-Iqatishadi fi al-Islam Juz II, hal. 241.
[6] Ibid. Hal. 139.
[7] Abdul Qadim Zallum, al-Amwal, hal. 85.
BAB III
KESMIPULAN
1. Pemilik hakiki dari tanah adalah Allah Swt. dan sebagai pemilik hakiki Allah Swt. telah memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelola tanah menurut hukum-hukum Allah Swt. serta tidak ada satu hukumpun yang boleh digunakan untuk mengatur persoalan tanah, kecuali hukum-hukum Allah Swt. saja atau syariah Islam.
2. Kepemilikan tanah dalam hukum Islam sepenuhnya diatur oleh negara, karena bagi siapa saja yang menelantarkan tanahnya selama tiga tahun maka akan diberikan kepada orang lain untuk dikelolah atau ditarik kembali oleh nagara.
3. Pendistribusian tanah dalam hukum Islam tidak dibolehkan untuk tanah pertanian, yang dibolehkan hanya tanah yang digunakan untuk kandang ternak, kolam ikan, dll.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Nabhani, al-Nizham al-Iqtishadi fi al-islam, (Beirut: Darul Ummah), 2004.
Gadhi, Yasin, Al-Amwal wa Al-Amlak al-‘Ammah fil Islam, (mu’tah: mu’assasah raam), 1994.
Mahasari, Jamaluddin, Pertanahan dalam Hukuam Islam, (Yogyakarta: Gama Media , 2008).
Zallum, Abduh Qdim, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, (Beirut: Darul Ummah), 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar