OLEH
AGUS
AQMAL
AKBAR TANJUNG
ABDURRAHMAN
ABDURRAHMAN WAHID
AMIRSYAM MARSUKI
ATIKA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
FAK. SYARI’AH & HUKUM
KATA PENGANTAR
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Teriring do’a dan restu atas kehadirat Allah SWT dan karunianyalah sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini meskipun masih memiliki banyak kekurangan. Sungguh Maha Besar Allah dengan segala kesempurnaanNya.
Maha Suci Allah yang telah mengutus seorang Rasul yang guna menyempurnakan akhlakul karimah. Oleh karena itu salawat dan salam atas junjungan Nabi besar Muhammad SAW kami kirimkan diaman beliau telah menyeruh kepada yang merasa ummat beliau untuk meuntut ilmu. Beliau juga merupakan revolusioner sejati, dimana beliau merubah peradaban yang penuh dengan kejahiliaan menuju peradaban yang mahiriah. Dan patutlah bagi stiap manusia yang mengaku ummat beliau untuk mengikuti setiap sunnah – sunnah beliau beserta perintahnya, diantaranya menuntut ilmu.
Makalah yang kami sajikan bukanlah makalah yang penuh dengan kesempurnaan, karena yang membuat makalah ini juga masih jauh dari kesempurnaan, dengan ini kritik dan saran sangat kami butuhkan demi kesempurnaan makalah selanjutnya.
Kami berharap makalah ini bermanfaat bagi semua orang yang membutuhkannya, dan mohon dimaklumi apa adanya.
BAB I
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Pernikahan sirih di Indonesia semakin marak terjadi, karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap ketentuan hukum positif dan hukum agama.
Agama merupakan suatu visi yang di balik, dan di dalam hal-hal yang senantiasa berubah atau bersifat sementara, sesuatu yang nyata, tetapi tetap menunggu untuk dinyatakan, sesuatu yang merupakan kemungkinan yang masih jauh, tetapi sekaligus juga merupakan kenyataan besar yang sudah terwujud sekarang ini, sesuatu yang merupakan ideal tertinggi yang pantas dicita-citakan, tetapi sekaligus juga sesuatu yang mengatasi segala dambaan.
Suatu agama merupakan agama yang kuat bila dalam ritual dan cara berpikirnya memberikan suatu visi yang menggerakkan hati. Kematian suatu agama datang bersamaan dengan terjadinya represi terhadap harapan tinggi akan suatu petualangan. Alfred North Whitehead, 1967.
Agama merupakan salah satu hukum yang berlaku di negara khususnya Indonesia selain Undang - Undang itu sendiri. Hukum agama banyak yang bertentangan dengan hukum Undang - Undang, maka dari itu hukum agama yang disisi lainnya juga merupakan hukum yang tetap diberlakukan di Indonesia harus searah.
Hukum agama harus sejalan dengan hukum perundang – undangan karena negara Indonesia khususnya, mengakui beberapa agama. Dan Undang – Undanglah yang merupakan hukum tertinggi yang mengikat setiap warga negara Indonesia.
Undang – Undang adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan mengikat semua yang membuat peraturan tersebut. Dan bertujuan mengatur semua tata kehidupan atau semua yang berhubungan dengan kemanusiaan, hak dan kewajiban dll.
B. Maksud dan Tujuan.
Secara garis bsarnya tujuan mempelajari keuntungan dan kerugian nikah sirih agar dapat memahami ketentuan nikah yang sebenarnya dan kedudukan nikah sirih serta mensosialisasikan kepada masyarakat tentang aturan – aturan atau ketentuan baik dalam undang – undang maupun dalam hukum agama mengenai pernikahan.
Selain itu, agar dapat memahami berbagai macam perbedaan pendapat dari tiga bentuk pendekatan, yaitu pendekatan secara agama (Islam), hukum (positif indonesia), dan ditinjau dari segi sosiologis kemasyarakatan.
C. RUMUSAN MASALAH
1. Mengapa nikah sirih marak di Indonesia ?
2. Apa dampak dari nikah sirih ?
3. Apakah nikah sirih diperbolehkan di Indonesia ?
4. Bagaimana pandangan agama Islam dan Undang – Undang tentang nikah sirih ?
5. Apa tujuan mengangkat nikah sirih sebagai judul makalah ?
BAB II
NIKAH SIRIH
HUKUM DAN TUJUAN NIKAH DALAM HUKUM AGAMA
1. Pengertian Nikah
Secara etimolog, nikah berarti berkumpul, seperti perkataan orang Arab berikut ini: تناكحت الأشجار، إذا التفّ بعضها ببعض artinya: Pohon-pohon itu menikah, yakni ketika telah bertemu dan berkumpul sebagian cabang dengan lainnya (telah rindang dan saling membelit dengan cabang-cabang lainnya).
Sedangkan menurut Syara’, berikut ini pendapat beberapa ulama:
a) Taqiyudin Abu Bakar Muhammad Al-Husainy Al-Damasyqy dalam kitab Kifayat Al-Akhyar juz’ 2, nikah adalah aqad yang sudah dikenal yang meliputi rukun-rukun dan syarat.
b) Dr. Wahbah Al-Zuhayly, dalam kitab Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh juz’ 7 mengatakan bahwa nikah adalah, aqad yang dapat membolehkan bersenang-senang dengan wanita, seperti bersetubuh, bertemu kulit, berciuman, berpelukan dan sebagainya dengan catatan bukan muhrimnya sebab susuan atau mushaharah.
Definisi lain dari Dr. Wahbah adalah aqad yang telah ditetapkan syari’, yang telah memberi pengertian kuasa laki-laki untuk bersenang-senang dengan perempuan dan halalnya istimta’ antara perempuan dan laki-laki.
c) Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdy Al-Irbily, mendefinisikan sebagai aqad yang di dalamnya terkandung kebolehan bersetubuh dengan lafadh nikah, zawaj atau terjemahannya.
Kesimpulannya, nikah adalah aqad yang dapat menghalalkan istimta’ seorang laki-laki dengan perempuan dengan rukun dan syarat tertentu.
Definisi penulis ini kiranya telah mencakup semua definisi di atas. Alfarisi mengatakan, bahwa kata nikah dapat berarti aqad sebagaimana definisi di atas dan dapat pula berarti bersetubuh dalam arti dua tubuh menjadi satu. Orang Arab membedakan makna keduanya dengan meneliti susunan kalimatnya. Contoh, bila dikatakan si fulan telah menikahi putri sifulan, maka yang dimaksudkan adalah aqadnya. Bila dikatakan dia telah menikahi istrinya atau perempuannya, maka yang dimaksudkan tiada lain kecuali bersetubuh.
Adapun dasar-dasar nikah antara lain adalah :
1. Al-Qur’an surat An-Nur ayat 32 yang berbunyi :
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (laki-laki atau perempuan yang masih belum kawin) diantara kamu, dan orang-orang yang layak (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamda sahayamu yang perempuan..”
2. Al-Qur’an surat Al-Nisa’ ayat 3 yang berbunyi :
“.. maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat.. .”
3. Hadits riwayat Bukhori dari Ibnu Mas’ud, ra. Nabi bersabda, “Wahai para pemuda, siapa diantara kamu yang sudah mampu memberikan nafkah lahir dan batin maka hendaklah ia menikah, karena sesungguhnya (nikah itu) lebih dapat menutup mata dan menjaga farji. Dan sesungguhnya puasa dapat menjadi penahan keinginan untuk bersetubuh.”
4. Dan lain-lain yang tidak perlu kiranya ditulis semua.
Nikah termasuk diantara syari’at-syari’at qodimah (terdahulu), dimana nikah ini telah disyari’atkan mulai dari bapak manusia yang pertama yaitu Adam as. yang akan terus berlaku hingga di surga kelak, di tempat yang tiada larangan lagi untuk mengawini muhrimnya sendiri kecuali muhrim yang dalam urutan garis vertikal, yakni ibu ke atas dan anak ke bawah. Mereka tidak boleh dikawini walau disurga sudah tiada berlaku lagi syari’at dengan arti Allah SWT tidak akan mengabulkan keinginan salah seorang penduduk surga untuk mengawini ibunya sendiri atau anak-anaknya sendiri. Demikian diterangkan dalam kitab I’anat Al-Tholobin juz’ 3 bab nikah.
2. Tujuan Nikah
Para dokter mengemukakan tujuan nikah ada tiga, yaitu:
1 Menjaga keturunan.
2 Mengeluarkan air mani yang dapat membawa mudharot di badan bila tidak salurkan.
3 Untuk memperoleh kenikmatan atau kesenangan.
Tujuan nikah dalam kitab I’anat Al-Tholibin.
Dalam kitab Tanwir Al-Qulub, diterangkan bahwa nikah bertujuan untuk melestarikan keturunan, menjaga farji dari perbuatan zina, menutup mata dari pandangan kepada sesuatu yang haram, menyalurkan air mani yang dapat membawa mudlorot terhadap jasmani, serta untuk memperoleh kenikmatan dan kesenangan.
Dr. Wahbah Al-Zuhaily mengemukakan tujuan nikah adalah menjaga diri seseorang agar tidak jatuh pada perbuatan haram, menjaga species insan dari kepunahan, dengan jalan peranakan mulia, melestarikan keturunan dan memelihara hubungan nasab, mendirikan keluarga sempurna dengan aturan kebersamaannya, mewujudkan saling membantu diantara suami dan istri dalam menanggung beban hidup, mengikat cinta kasih dan saling membantu diantara masyarakat, memperkuat ikatan kekeluargaan yang, dengan ikatan keluarga tersebut, dapat tercapai kesempurnaan dalam menjaga kemaslahatan.
Tiga uraian diatas dinuqil dari kitab yang berbeda dengan latar belakang pengarang yang berbeda pula wawasan dan metode dalam praktisi hukum fiqih, dimana Sayyid Al-Bakry dan Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdy Al-Irbily keduanya adalah ulama-ulama besar dalam madzhab Syafi’i dengan pola pikir salaf.
Perbedaan antara keduanya adalah bahwa Al-Kurdy disamping seorang ahli fiqih juga tokoh tasawuf dalam madzhab Naqsyabandiyah. Sedang Dr. Wahbah adalah seorang ahli fiqih yang hidup di zaman modern, yang mengupayakan perpaduan empat madzhab besar untuk menjawab problematika hukum yang semakin berkembang sejalan dengan kemajuan teknologi, sehingga penerapan hukum-hukum Islam menjadi dinamis dan terlepas dari kungkungan statisme.
Berikut adalah tujuan nikah dari perpaduan pendapat tiga ulama besar di atas:
1) Melestarikan species manusia dengan jalan yang dibenarkan syari’at agar terhindar dari kepunahan.
2) Menyalurkan air mani dengan jalan yang halal dan jauh dari faktor mudlorot yang mengendapakannya tanpa penyaluran yang benar dapat mengakibatkan pengaruh negatif pada fisik.
3) Memenuhi kebutuhan biologis dan penyaluran nafsu sex pada jalan dan tempat yang benar.
4) Membentuk keluarga dengan ikatan yang kuat dan sah terlepas dari freesex dan kumpul tanpa ikatan yang sah yang menimbulkan fitnah dan kerusakan tatanan sosial.
5) Membina cinta kasih di atas pondasi agama untuk menciptakan kerukunan dan kerja sama dalam menanggung beban hidup.
6) Menjaga hubungan kekeluargaan (nasab dengan status yang jelas).
7) Menjaga diri agar tidak jatuh kedalam lembah kemaksiaan.
8) Itulah tujuan nikah di dunia. Adapun di akhirat maka tujuannya semata-mata hanya memenuhi tuntutan bilogis untuk memperoleh kenikmatan dan kesenangan.
3. Hukum-hukum Nikah
a) Fardlu/Wajib
Nikah hukumnya fardlu apabila:
· Yakin akan jatuh pada perzinaan bila tidak menikah.
· Mampu memenuhi nafkah perkawinan meliputi: mas kawin, nafkah istri (lahir dan batin) serta hak-hak istri.
· Tidak mempu menjaga dirinya dari kekejian (perzinaan) dengan jalan bepuasa atau semacamnya.
b) Haram
Nikah hukumnya haram apabila:
· Yakin akan membuat sengsara dan aniaya terhadap istri, sebab tidak ada kemampuan dalam memenuhi tanggung jawab perkawinan.
· Tidak dapat berlaku adil kepada istri yang lain.
c) Makruh
Nikah hukumnya makruh apabila terjadi kekhawatiran dengan kekhawatiran yang tidak sampai pada tingkat keyakinan akan jatuh pada bentuk penyelewengan dan mudlorot.
d) Sunnah
Nikah hukumnya sunnah apabila seseorang bebas dari faktor-faktor penyebab terjadinya tiga hukum diatas.
Demikian tingkatan hukum nikah hasil kesimpulan dari Dr. Wahbah, yang merupakan perpaduan dari pendapat madzhab empat yang tersohor.
Walhasil, nikah hukum asalnya mubah, dan dapat mengarah pada hukum haram, makruh dan sunnah sejalan dengan situasi dan kondisi yang melatarbelakangi pelakunya.
4. Syarat Nikah Tanpa Wali dan Saksi.
Sebelum penulis mengemukakan syarat-syarat nikah tanpa wali dan saksi ini, terlebih dahulu penulis akan menyampaikan dua hal pokok.
Pertama, bahwa nikah tanpa wali dan saksi biasa disebut segolongan ulama dengan istilah nikah mut’ah. Istilah ini berdasarkan pendapat Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa nikah tanpa wali dan saksi inilah yang disebut nikah mut’ah. Sementara itu, jumhur ulama mendefinisikan nikah mut’ah, yaitu aqad nikah yang ditentukan dengan batas waktu tertentu disertai dengan lafadh mut’ah, bila batas waktu yang telah ditentukan itu habis maka talaq jatuh walau mungkin istri masih berat kepada suami.
Hal kedua yang ingin penulis sampaikan yaitu: untuk memperoleh data dari persyaratan nikah ini, penulis juga melakukan interview dengan beberapa tokoh fiqih (kyai), mengingat sulitnya memperoleh data dari kitab selain madzhab empat di Indonesia yang mayoritas penduduknya bermadzhab Syafi’i.
Di dalam kitab Nail Al-Authar, dijumpai beberapa syarat berikut :
1) Aqad nikah diselenggarakan dengan shighot mut’ah.
2) Ditentukan masanya, misalnya sebulan, dua bulan dan seterusnya.
3) Perempuan harus seorang janda, sedang bagi perempuan yang masih gadis maka wajib ada wali.
4) Dalam keadaan jauh dari lingkungan keluarga (istri), misalnya pergi ke daerah lain dalam rangkaian bisnis, bertugas sebagai serdadu dan sebagainya.
5) Adanya kekhawatiran untuk berbuat zina karena sebab pada nomor 4, atau karena istri tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai istri karena haid yang tidak teratur dan sebagainya.
6) Tidak saling mewarisi, dan ada mas kawin (mahar).
Demikian hasil dari kitab Nail Al-Authar jilid 9, bab nikah mut’ah.
Dalam Bidayat Al-Mujtahid, dijumpai satu syarat lain, yaitu hendaknya dimeriahkan paling tidak dengan semacam kesenian tambur (terbangan-Indonesia).
Syaikh Zainal Grogolan-Pasuruan, menambahkan satu syarat selain yang tersebut dalam Bidayat Al-Mujtahid di atas, yaitu hendaknya melakukan i’lan atau pemberitahuan minimal terhadap 40 orang di daerah ia tinggal maupun di daerah lain.
Kesimpulannya, bahwa persyaratan nikah mut’ah terpencar-pencar di berbagai kitab yang hanya merupakan lintasan pendapat atau sanggahan dari pengarang sebuah kitab.
Syarat-syarat tersebut adalah:
1. Aqad diselenggarakan dengan shighot mut’ah
2. Ditentukan masanya
3. Ada mas kawin (mahar)
4. Tidak saling mewarisi
5. Dalam keadaan darurat
6. Aqad diselenggarakan dengan keramaian
7. Adanya kekhawatiran berbuat zina
8. Harus melakukan i’lan (pemberitahuan) kepada orang paling sedikit 40 orang, baik di tempat tinggal mereka ataupaun di daerah lain
9. Perempuan (istri) berstatus janda (sudah pernah menikah)
Sedang mengenai rukun-rukunnya adalah mempelai laki-laki dan mempelai perempuan.
Itulah syarat dan rukun nikah mut’ah.
HUKUM – HUKUM NIKAH SIRIH
Ustas Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf di Majalah Al Furqan (Edisi 12 Tahun III hal. 42) mengatakan
"Dari pemahaman yang berkembang di tengah masyarakat, dapat diambil kesimpulan bahwa nikah sirih ada dua pengertian, yaitu :
1. Pernikahan yang dilakukan tanpa wali
2. Pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali namun tidak dilaporkan atau dicatat oleh pegawai KUA setempat"
Untuk pernikahan tanpa wali maka hukumnya Batal dan tidak sah. (Al Furqan Edisi 12 Th. III hal. 42).
Dari Aisyah radhiyallahu'anha berkata Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda : "Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya bathil -tiga kali." (HR Ahmad 6/156, Abu Dawud 2069, Turmudzi 1108,
Ibnu Majah 1879 dengan sanad shohih, lihat Al Irwa' 6/242/1840).
Untuk pernikahan dengan adanya wali tetapi tanpa dicatatkan di KUA. Sepanjang terpenuhi syarat dan rukunnya maka pernikahannya sah.
Syarat dan rukunnya yaitu :
1. Adanya calon suami dan calon istri.
2. Adanya wali.
3. Adanya dua saksi yang adil.
4. Ijab dan Qobul.
Meski tidak dicatatkan di KUA. Kemudian menurut Ustadz Ahmad Sabiq dibagian akhir menerangkan bahwa nikah tanpa dicatat di KUA hukumnya sah secara syar'i. Tetapi selayaknya dicatatkan di KUA.
Saya kira perlu bagi kita untuk mencatatkan pernikahan di KUA untuk mendapatkan surat nikah karena untuk keperluan keperluan lain. Kalau tidak salah surat nikah itu perlu untuk pembuatan akta kelahiran anak. Dll.
Kesimpulannya hukum asal nikah tanpa wali adalah tidak sah sepanjang tidak memenuhi syarat dan rukun yang telah ditetapkan oleh UU dan Agama.
NIKAH SIRIH MENURUT UU
Meskipun Undang-Undang Perkawinan sudah diberlakukan sejak 34 tahun lalu, praktek nikah siri terus saja berlangsung. Ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah (PWM) Lampung, H.Nurvaif S. Chaniago mengimbau umat Islam tidak melakukan nikah siri karena melanggar UU.
"Banyak orang ingin memudahkan urusan menikah. Mungkin juga karena alasan tertentu akhirnya sebagian orang memilih untuk menikah sirih. Ini perlu diluruskan kepada umat bahwa nikah sirih itu melanggar UU. Pernikahan itu sah jika sesuai dengan syarat dan rukun agama serta peraturan pemerintah," kata Nurvaif, Selasa (5-2).
Menurut Nurvaif, nikah sirih adalah pernikahan yang dilakukan di luar pengawasan petugas sehingga pernikahan itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Dilihat dari undang-undang, kata Nurvaif, hukum nikah siri adalah pelanggaran alias batal demi hukum. Alasannya, negara sudah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur mengenai perkawinan. Di dalam undang-undang itu disebutkan, perkawinan harus dicatatkan pada KUA.
"Undang-undang itu merupakan hasil penggodokan yang melibatkan unsur ulama. Karena Undang-Undang Perkawinan itu dilahirkan melalui ijtihad ulama dan untuk kemaslahatan rakyat, produk itu harus diikuti umat muslim," kata Nurvaif.
Selain melanggar UU, pernikahan sirih juga sangat merugikan kaum perempuan dan anak-anak. Wanita yang dinikahi secara sirih tidak berhak atas warisan suaminya. Begitu juga dengan anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan itu. Anak tersebut hanya diakui hak-haknya dari pihak ibu. Anak itu juga tidak bisa mendapat akta kelahiran karena pencatatan sipil untuk kelahiran anak mensyaratkan adanya surat nikah resmi dari Negara.
Dalam Undang -Undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan didalam BAB II tentang syarat-syarat perkawinan, pasal 7
(1) perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 (sembilanbelas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enambelas) tahun.
Nikah sirih atau pernikahan yang dilakukan tanpa sepengetahuan pihak – pihak tertentu maka dianggap
tidak mempunyai ketentuan hukum, hal ini disebabkan perkawinan dilakukan diluar ketentuan yang berlaku dalam hal ini ketentuan yang ada dalam UU no. 1 tahun 1974, dalam BAB I tentang dasar perkawinan ;
Pasal 1
'' perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha
Esa ''
pasal 2
1 Perkawinan adalah SYAH, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,
2 Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam kasus pernikahan sirih yang sering terjadi di masyarakat yang tidak tercatat pada register KUA yang bersangkutan, dengan demikian tindakan perdata yang timbul didalamnya tidak mendapat perlindungan hukum seperti.
>> Perkawinan siri sendiri.
>> Kelahiran anak-anak akan dicap anak luar kawin.
>> Tidak berhak atas hak waris.
Pernikahan sirih dapat menjadi sah apabila yang melakukan pernikahan sirih mendaftarkan kembali pernikahannya kepada KUA setempat dengan persyaratan yang berlaku. dengan demikian pernikahan tersebut telah dicatat dalam buku register perkawinan dan telah dianggap sah dalam UU.
Tujuan Nikah sirih adalah mengatasi kebutuhan sex.
Departemen Agama (Depag) dinilai masih tetap perlu menyosialisasikan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di sisi lain, penyuluhan dan pembinaan keberagamaan mayarakat perlu terus ditingkatkan.
"Upaya ini dimaksudkan agar pemahaman dan pengamalan terhadap UU Perkawinan menjadi lebih baik,'' kata Drs Thohir Luthfi dari Bidang Urusan Agama Islam Kanwil Depag Jateng dalam press release yang dikirim ke redaksi Suara Merdeka, Minggu (16/12).
Kanwil Depag Jateng khsusnya menjelaskan bahwa menurut UU Perkawinan nikah siri atau nikah yang tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dari Kantor Urusan Agama (KUA) adalah tidak sah.
KESIMPULAN
1) Nikah adalah syari’at umat-umat terdahulu yang akan berlaku sampai di surga.
2) Nikah di surga boleh dengan muhrim sendiri kecuali ibu keatas dan anak ke bawah.
3) Nikah sangat menjaga garis hubungan antara orang tua dengan anak, sampai-sampai di surga pun yang sudah tiada lagi catatan perbuatan maksiat atau taat berlaku larangan menikahi ibu atau anak. Oleh karena itu sungguh suatu dosa besar dan cela tiada tara jika seorang bapak menzinahi anak sendiri atau anak menzinahi ibunya sendiri.
4) Selain melanggar UU, pernikahan sirih juga sangat merugikan kaum perempuan dan anak-anak. Wanita yang dinikahi secara siri tidak berhak atas warisan suaminya. Begitu juga dengan anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan itu. Anak tersebut hanya diakui hak-haknya dari pihak ibu. Anak itu juga tidak bisa mendapat akta kelahiran karena pencatatan sipil untuk kelahiran anak mensyaratkan adanya surat nikah resmi dari Negara.
5) Tujuan Nikah sirih adalah mengatasi kebutuhan sex.
DAFTAR PUSTAKA
Sidik, Abdullah. 1983. Hukum Perkawinan Islam.
Jakarta : Tintamas.
Soemiyati. 1986. Hukum Perkawinan Islam dan Undang – Undang. Yogyakarta : Liberty.
____ . 2007. “ Depag Perlu Sosialisasikan UU 1 / 1974 ”. Artikel dalam Suara Merdeka. Semarang : Harian Suara Merdeka.
____ . 1976. Hukum Perkawinan di Indonesia.
Jakarta : Ghalia Indonesia.
Chandraleka. 2006. Nikah Siri. Independent
IT writer : Visit http : //come.to/
Digitalworks a source jor
Computer habbyst. Belajar Islam. Com.
LAHIR DIJEMPUT HUKUM
HIDUP DIATUR HUKUM
MATI DIANTAR HUKUM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar