HUSNUL KHATIMAH DANIAL
ICHSAN ISKANDAR
IRMAYANTI
JULIANA
JUMRIATI
KHAERUNNISA AWAL WAHID
KHALIDAH OPPIER
MAWADDAH.WS.
HUKUM ACARA PERADILAN 2008
FAKULTAS SYARIAH dan HUKUM
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini,kehidupan masyarakat sangat sering diwarnai dengan masalah pertentangan hukum.Khususnya masalah harta bersama atau yang lebih dikenal dengan istilah ‘gono-gini’ yang dialami oleh suami istri yang menghadapi perceraian.Masalah ini banyak menyita perhatian berbagai kalangan terlebih media massa,ulama dan masyarakat pada umumnya terutama artis dan pejabat yang sering di blow-up oleh media dan menjadi konsumsi public.Sesuai dengan latar belakang penulisan makalah ini ,berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia,harta gono-gini itu diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan,Kitab undang-Undang hukum Perdata(KUHPer) dan Kompilasi hukum islam(KHI).Pengaturan harta gono-gini diakui secara hukum termasuk dalam hal pengurusan,penggunaan dan pembagiannya
Ketentuan harta gono-gini juga diatur dalam hukum islam.meskipun secara umum dan mendasar tidak diakuinya pencampuran harta kekayaan suami istri(Dalam hukum islam),ternyata setelah dianalisis yang tidak bisa dicampur adalah harta bawaan dan harta perolehan.hal ini sama halnya dengan ketentuan yang berlaku dalam hukum positif,bahwa kedua macam harta itu harus terpisah dengan dari harta gono gini itu sendiri.dalam perspektif hukum islam,harta gono gini dapat ditelusuri melalui pendekatan qiyas dan ijtihad.
B. Masalah
Harta gono-gini dan perjanjian perkawinan sering luput dari perhatian masyarakat karena sering menganggap perkawinan adalah suatu yang suci sehingga tidak etis jika membicarakan masalah harta benda apalagi pembagian harta bersama selama perkawinan jika suatu saat terjadi perceraian.Masyarakat menganggap terlalu materialis jika membuat perjanjian perkawinan sebelum atau saat berlangsungnya pernikahan sehingga apabila pada suatu saat kenyataan bercerai harus dihadapi akan sangat mengalami kesulitan dalam masalah pembagian harta yang telah didapatkan oleh kedua belah pihak selama perkawinan.Mereka bingung dalam pembagiannya,apakah dalam penyelesaian perkara tersebut menggunakan hukum adat,hukum islam,kompilasi hukum islam,kitab undang-undang hukum perdata,atau asas-asas hukum lainnya,yang pada kenyataannya tiap hukum menetapkan peraturan peraturan yang berbeda.jika dalam hukum adat pembagian harta bersama adalah 50:50,walaupun pada kenyataannya ada system kekerabatan yang tidak menggunakan peraturan gono-gini pada saat terjadi perceraian misalnya system patrilineal,matrilineal,dan beberapa daerah lain.Namun disisi lain,peraturan mengenai gono-gini dalam hukum islam dianggap tidak relevan dan tidak adil karena membagai harta bersama sesuai porsi (peran)masing-masing dalam keluarga,atau berpihak pada salah satu pihak bersengketa atau mendiskriminasikan salah satu pihak.Masing-masing pihak saling mengklaim bahwa dirinyalah yang berhak mendapatkan jatah harta gono-gini yang lebih besar Oleh karena itu,Insya Allah kami akan memberikan penjelasan singkat mengenai harta gono-gini dalam persfektif agama islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFENISI HARTA GONO-GINI
Istilah “gono-gini”merupakan sebuah istilah hukum yang popular di masyarakat.dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia(2001:330),istilah yang digunakan adalah “gana-gini”,yng secara hukum artinya,”Harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami dan istri’.
Dalam Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh JS Badudu dan SM Zain (1996: 421), pengertian harta gono-gini juga sama dengan definisi baku dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu ‘Harta perolehan selama bersuami istri’.
Sebenarnya, istilah hukum yang digunakan secara resmi dan legal-formal dalam peraturan perundang-undangan di tanah air, baik dalm UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI), adalah harta bersama. Hanya, istilah gono-gini lebih popular dibandingkan dengan istilah yang resmi digunakan dalam bahasa hukum konvensional.
Sedangkan menurut Drs. Fachtur Rahman (Ilmu Mawaris :42), memberikan definisi bahwa harta gono-gini adalah harta milik bersama dari suami istri yang diperoleh keduanya selama berlangsungnya perkawinan dimana keduanya bekerja untuk kepentingan hidup berumahtangga.
Di berbagai daerah di tanah air sebenarnya juga dikenal istilah-istilah lain yang sepadan dengan pengertian harta gono-gini (di Jawa). Hanya, diistilahkan secara beragam dalam hukum adapt yang berlaku di masing-masing daerah. Misalnya di Aceh, harta gono-gini diistilahkan dengan haeruta sihareukat; di Minangkabau masih dinamakan harta suarang; di Sunda digunakan istilah guna-kaya; di Bali disebut dengan druwe gabro; dan di Kalimantan digunakan istilah barang perpantangan
Dengan berjalannya waktu,rupanya istilah “gono-gini” lebih populer dan dikenal masyarakat,baik digunakan secara akademis,yuridis,maupun dalam perbendaharaan dan kosa kata masyarakat pada umumnya.
B. DASAR HUKUM HARTA GONO-GINI
Pada dasarnya,tidak ada percampuran harta kekayaan dalam perkawinan antara suami dan istri (harta gono-gini) .Konsep harta gono-gini pada awalnya berasal dari adat istiadat atau tradisi yang berkembang di Indonesia.konsep ini kemudian didukung oleh hukum islam dan hukum positif yang berlaku di Negara kita.Percampuran harta kekayaan(harta gono-gini)berlaku jika pasangan tersebut tidak menentukan hal lain dalam perjanjian perkawinan.Dasar hukum tentang harta gono-gini dapat ditelusuri melalui Undang-Undang ,hukum islam,hukum adat dan peraturan lain,seperti berikut:
1. UU perkawinan pasal 35 ayat 1,menyebutkan bahwa harta gono-gini adalah “harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan”.artinya,harta kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai harta gono-gini.
2. KUHPerdata pasal 119,disebutkan bahwa “sejak saat dilangsungkan perkawinan ,maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri,sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan.Harta bersama itu,selama perkawinan berlangsung,tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri.”
3. KHI pasal 85,disebutkan bahwa “adanya harta bersama dalam perkawinan itu,tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri”.Dengan kata lain,KHI mendukung adanya persatuan harta dalam perkawinan (gono-gini).
4. KHI pasal 86 ayat 1 dan 2,kembali dinyatakan bahwa “pada dasarnya tidak ada percampuran harta antara suami dan istri karena perkawinan.”
C. HARTA GONO GINI DALAM HUKUM ISLAM
Konsep harta gono gini beserta segala ketentuannya memang tidak ditemukan dalam kajian fiqih (hukum Islam) klasik ,Fikih Islam klasik adalah produk hukum yang dihasilkan oleh ulama ulama terdahulu sebelum masa modern.Para ulama tersebut mendefenisikan fiqh islam menurut perspektif yang mereka yakini bahwa itu memang seperti apa adanya yang diajarkan Rasulullah SAW.Masalah harta gono-gini sesungguhnya wilayah hukum yang belum disentuh,atau dapat dikatakan sebagai wilayah kajian hukum”yang belum terpikirkan”(ghair al-mufakkar fih).Sebab,isu harta gono-gini lebih banyak berkembang dan urgent untuk dibicarakan pada masa modern.Dalam kajian fiqh islam klasik,isu-isu yang sering diungkapkan adalah masalah pengaturan nafkah dan hukum waris.Dua hal inilah yang banyak menyita perhatian kajian fiqh klasik.Dalam menyoroti masalah harta benda dalam perkawinan.
Meskipun demikian,berdasarkan sejumlah analisis yang akan di ulas bahwa sesungguhnya masalah harta gono-gini tetap ada dalam kajian hukum islam.analisis ini dilakukan melalui pendekatan ijtihad dan qiyas terhadap produk hukum islam yang sudah ada sebagai alat perbandingan.secara umum,hukum islam tidak melihat adanya harta gono-gini.dengan kata lain,hukum islam pada umumnya lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suami dan harta istri.apa yang dihasilkan istri merupakan harta miliknya demikian juga apa yang di hasilkan suami adalah harta miliknya.sebagian ahli hukum memandang bahwa hukum islam mengatur system terpisahnya antara harta suami dan harta istri sepanjang yang bersangkutan tidak menentukan lain (tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan).Ada juga yang mengemukakan bahwa hukum islam memberi hak kepada masing-masing pasangan,baik suami atau istri,untuk memiliki harta benda secara perorangan,dan tidak biasa diganggu oleh masing-masing pihak.suami yang menerima pemberian,warisan,dan sebagainya,berhak menguasai sepenuhnya harta yang di terimanya itu,tanpa adanya campur tangan istrinya.demikian halnya bagi istri yang menerima pemberian,warisan dan sebagainya berhak menguasai sepenuhnya harta yang di terimanya itu tanpa ada campur tangan suaminya.dengan demikian harta bawaan yang mereka miliki sebelum terjadinya perkawinan menjadi hak milik masing-masing suami-istri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar