SELAMAT DATANG

SEMOGA APA YANG TERDAPAT DALAM BLOG INI DAPAT BERGUNA DAN BERMANFAAT BAGI SEMUA PIHAK YANG MEMBUTUHKANNYA SERTA DIGUNAKAN SEBAGAIMANA MESTINYA.

Selasa, 31 Januari 2012

MAKALAH IDDAH


KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan karunianya serta kesehatan yang diberikan kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah Fiqhi Munakahat dengan judul Iddah.

Salawat dan salam tidak lupa pula penulis kirimkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW. Beliau adalah suri tauladan yang baik dalam aspek apapun terutama dalam membina keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Dengan mengikuti syari’at Islam dan sunnah Rasulullah SAW, insya Allah kita akan mendapatkan rahmat dunia dan akhirat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada dosen pembimbing mata kuliah Fiqhi Munakahat yang telah banyak memberikan ilmunya kepada penulis khususnya tentang Munakahat.
Penulis sadar, bahwa di dalam makalah ini tentu masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki baik dari segi penulisan, kata-kata, dan lain-lain. Maka dari itu, kritik dan saran sangat kami butuhkan demi perbaikan makalah yang akan datang.
Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan ilmu dan manfaat kepada semua yang membutuhkannya terutama penulis sendiri, dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG
Dewasa ini sering kita jumpai berbagai macam model perkawinan yang sering dilakukan oleh masyarakat. Baik itu nikah secara resmi, nikah sirih, dan lain-lain. Dalam hal ini tentu banyak kekeliruan yang telah dilakukan oleh masyarakat yang kemudian tidak nampak karena mungkin sengaja disembunyikan atas dorongan hawa nafsu ataukah mungkin karena kurangnya ilmu pengetahuan tentang hal tersebut.
Islam kemudian mengajarkan kepada kita sekalian tentang praktek-praktek mulai dari masa ta’arufan, peminangan, pelaksanaan perkawinan, sampai kepada perceraian atau putusnya perkawinan apabila tidak mampu lagi mempertahankan rumah tangga karena sesuatu hal.
Salah satu yang sering dilupakan ketika seorang pria ingin menikahi seorang wanita yang baru saja melepaskan tanggung jawabnya sebagai seorang isteri dari pria lain yaitu iddah (masa tangguhan).
Anjuran syariat untuk beriddah tentu mempunyai alasan dan hikmah dibalik anjuran tersebut, yang kemudan akan dibahas pada paembahasan selanjutnya dalam makalah ini.

B.  RUMUSAN MASALAH
1.    Apa pengertian iddah?
2.    Apa kedudukan iddah dalam agama Islam?
3.    Apa hikmah dibalik iddah?
4.    Berapa lama masa iddah bagi seorang perempuan yang diceraikan oleh suaminya?
5.    Apa hukumnya merujuk seorang istri yang baru diceraikan dalam masa iddah?

C.  TUJUAN
Makalah ini dibuat karena tuntutan dan kewajiban bagi seorang mahsiswa yang diamanahkan mempresentasekan sebuah makalah yang berjudul iddah. Disamping itu juga karena untuk menjawab permasalahan yang ada dalam kaitannya dengan masa iddah, serta menambah ilmu pengetahuan khususnya masalah pengertian iddah, masa iddah, hokum iddah dalam agama Islam, dan lain-lain.


BAB II
PEMBAHASAN

A.  PENGERTIAN IDDAH
Iddah adalah bahasa arab yang berasal dari kata adda – ya’uddu – ‘iddatan dan jamaknya adalah ‘idad yang arti kata atau (etimologi) berarti: “mengehitung dan hitungan”. Kata ini digunakan untuk maksud iddah karena dalam masa itu si perempuan yang ber-iddah menunggu berlalunya waktu.
Dalam kitab fikih ditemukan definisi iddah itu yang pendek dan sederhana di antaranya adalah masa tunggu yang dilalui oleh seorang perempuan. Karena sederhananya definisi ini ia masih memerlukan penjelasan terutama mengenai apa yang ditunggunya, kenapa dia menunggu, dan untuk apa dia menunggu.
Untuk menjawab apa yang ditunggu dan kenapa dia harus menunggu, al-Shan’any mengemukakan definisi yang agak lebih lengkap sebagai berikut:
Nama bagi suatu nama suatu masa yang seorangi perempuan menunggu dalam masa itu kesempatan untuk kawin lagi karena wafatnya suaminya atau bercerai dengan suaminya.
Untuk menjawab untuk apa dia menunggu, ditemukan jawabannya dalam ta’rif lain yang bunyinya:
Masa tunggu yang harus dilalui oleh seorang perempuan untuk mengetahui bersihnya rahim perempuan itu atau untuk beribadah.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan diatas dapat disusun hakikat dari iddah tersebut sebagai berikut: “masa yang harus ditunggu oleh seorang perempuan yang telah bercerai dari suaminya supaya dapat kawin lagi untuk mengetahui bersih rahimnya atau untuk melaksanakan perintah Allah”.[1]

B.  MACAM-MACAM IDDAH
Iddah ada beberapa macam, yaitu:
1.    Iddah istri yang berhaid, yaitu tiga kali haid.
2.    Iddah istri yang menaupose, yaitu tiga bulan.
3.    Iddah istri yang kematian suami, yaitu empat bulan sepuluh hari.
4.    Iddah istri hamil, yaitu sampai melahirkan.

Keterangannya adalah sebagai berikut. Istri adakalanya sudah disetubuhi dan adakalanya belum disetubuhi.

C.  KEDUDUKAN HUKUM IDDAH
Yang menjalani iddah tersebut adalah perempuan yang bercerai dari suaminya, bukan laki-laki atau suaminya. Perempuan yang bercerai dari suaminya dalam bentuk apapun, cerai hidup atau mati, sedang hamil atau tidak, masih berhaid atau tidak, wajib menjalani masa iddah itu. Kewajiban menjalani masa iddah dapat dilihat dari beberapa ayat al-Quran, di antaranya firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat 228:




Perempuan-perempuan yang dithalak oleh suaminya hendaklah menunggu masa selama tiga kali quru’. Tidak halal perempuan itu menyembunyikan apa yang dijadikan Allah dalam rahimnya.[2]

Di antara hadis Nabi yang menyuruh masa iddah tersebut adalah apa yang disampaikan oleh Aisyah menurut riwayah Ibnu Majah dengan sanad yang kuat yang bunyinya:




Nabi SAW manyuruh baurairah untuk beriddah selama tiga kali haid.

D.  HIKMAH IDDAH
Adapun hikmah dan tujuan diwajibkanya iddah itu adalah sebagaimana dijelaskan dalam salah satu definisi yang disebutkan diatas yaitu:

Pertama: untuk mengetahui bersihnya rahim perempuan tersebut dari dari bibit yang ditinggalkan mantan suaminya. Hal ini disepakati oleh ulama. Pendapat ulama pada saat itu didasarkan pada dua alur pikir:
1.    Bibit yang ditinggal oleh mantan suami dapat berbaur dengan bibit yang orang yang mengawininya untuk menciptakan satu janin dalam perut perempuan tersebut. Dengan pembaruan itu diragukan anak siapa sebenarnya dikandung oleh perempuan tersebut. Untuk menghindarkan perbauran bibit itu, maka perlu diketahui atau diyakini bahwa sebelum perempuan itu kawin lagi rahimnya bersih dari peninggalan mantan suaminya.
2.    Tidak ada cara untuk mengetahui apakah perempuan yang baru berpisah dari suaminya mengandung bibit dari mantan suaminya atau tidak kecuali dengan datangnya beberapa kali haid dalam masa itu. Untuk itu diperlukan masa tunggu.

Alur pikir pertama tersebut di atas tampaknya waktu ini tidak relevan lagi karena sudah diketahui bahwa bibit yang akan menjadi janin hanya dari satu bibit dan berbaurnya beberapa bibit dalam rahim tidak akan mengaruhi bibit yang sudah memproses menjadi janin itu. Demikian pula alur pikir kedua tidak relevan lagi karena waktu ini sudah ada alat yang canggih untuk mengetahui bersih atau tidaknya rahim perempuan dari mantan suaminya. Meskipun demikian, iddah tetap diwajibkan dengan alasan di bawah ini.

Kedua: untuk taabud, artinya semata untuk memenuhi kehendak dari Allah meskipun secara rasio kita mengira tidak perlu lagi. Contoh dalam hal ini, umpanya perempuan yang kematian suami dan belum digauli oleh suaminya itu, masih tetap wajib menjalani masa iddah, meskipun dapat dipastikan bahwa mantan suaminya tidak meninggalkan bibit dalam rahim istrinya itu.
Adapun hikmah yang dapat diambil dari ketentuan iddah itu adalah agar suami yang telah menceraikan istrinya itu berpikir kembali dan menyadari tindakan itu tidak baik dan menyesal atas tindakannya itu. Dengan adanya iddah dia dapat menjalin kembali hidup perkawinan tanpa harus mengadakan akad baru.


BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan.
Iddah adalah masa yang harus ditunggu oleh seorang perempuan yang telah bercerai dari suaminya supaya dapat kawin lagi untuk mengetahui bersih rahimnya atau untuk melaksanakan perintah Allah.
Iddah ada beberapa macam, yaitu:
5.    Iddah istri yang berhaid, yaitu tiga kali haid.
6.    Iddah istri yang menaupose, yaitu tiga bulan.
7.    Iddah istri yang kematian suami, yaitu empat bulan sepuluh hari.
8.    Iddah istri hamil, yaitu sampai melahirkan.
Adapun hikmah yang dapat diambil dari ketentuan iddah itu adalah agar suami yang telah menceraikan istrinya itu berpikir kembali dan menyadari tindakan itu tidak baik dan menyesal atas tindakannya itu. Dengan adanya iddah dia dapat menjalin kembali hidup perkawinan tanpa harus mengadakan akad baru.



DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin Amir, Prof., Dr., Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikhi Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2007.



[1]  Perhitungan iddah atau masa menunggu dihitung mulai adanya talak atau kematian.
[2] Quru’ bias berarti haid atau bersih dari haid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar